(Proses Perubahan Negara
Republik Indonesia Serikat Menjadi
Negara Kesatuan
Republik Indonesia)
Oleh : Haryono
Rinardi
(Jurusan Sejarah
UNDIP)
Abstract
One of important
periods in Indonesian history is physical revolution that’s known as freedom
war. The result
is change of statecraft on Indonesia. Bases on UUD’45 as constitution of state,
Indonesia use
unity state formation. But, periods Indonesia had to use federal state
formation.
These article
would described change of state formation from federal back to unity state
formation in
middle of 1950.
Key words: State formation,
federal, and unity.
A. Pendahuluan
Awal tahun 1950 merupakan periode
krusial bagi Indonesia. Pertentangan dan konflik untuk
menentukan bentuk negara bagi
Bangsa dan Negara Indonesia tengah berlangsung. Pada satu sisi,
secara resmi saat itu Indonesia
merupakan negara federal, sebagaimana hasil perjanjian
Konferensi Meja Bundar (KMB).
Akan tetapi, pada saat yang bersamaan muncul gerakan yang
menentang keberadaan negara
federal itu. Gerakan ini eksis bukan saja di kalangan elit, tetapi
juga di kalangan masyarkat bawah.
Gerakan tersebut menghendaki diubahnya bentuk negara
federal menjadi negara kesatuan.
Oleh banyak pengamat luar negeri
gerakan itu dianggap terlalu dini, tergesa-gesa, tidak
perlu dan agak angkuh. Pandangan
seperti itu muncul, karena gerakan kaum republiken itu
dianggap tidak memperhatikan
semangat dan fasilitas yang ada dalam persetujuan KMB. Akan
tetapi apabila diperhatikan jauh,
gerakan tersebut bukan saja kuat, tetapi juga sehat. Secara sosial
dan politik, Indonesia akan
berada dalam keadaan yang tidak baik jika tidak ada perkembangan
tersebut. Bagi kebanyakan orang
Indonesia, sistem federal dianggap sebagai warisan kolonial
sehingga harus segera diganti.
Sistem itu dipandang sebagai alat pengawasan dan peninggalan
Belanda. Oleh karena itu, sistem
federal merupakan halangan bagi tercapainya kemerdekaan
Indonesia yang lepas sama sekali
dari Belanda. Dengan dasar pikiran itu, maka mempertahankan
sistem federal berarti
mempertahankan warisan penjajahan masa lampau yang tidak disukai
masyarakat.[i]
Meskipun demikian perjuangan kaum
republiken untuk mewujudkan terbentuknya sebuah
negara kesatuan bukan merupakan
pekerjaan yang mudah. Pada satu sisi, saat itu secara resmi
masih tegak berdiri sebuah negara
yang secara resmi berbentuk negara federal lengkap dengan
alat-alat kenegaraannya. Dengan
demikian, betapapun lemahnya pendukung sistem negara federal
tersebut pasti masih ada di
Indonesia. Oleh karena itu, perjuangan untuk mengembalikan bentuk
negara dari federal menjadi
kesatuan harus dilakukan dengan cara yang benar agar tidak dianggap
sebagai pemberontakan kepada
pemerintah yang sah. Pada sisi yang lainnya, saat itu tentara
Belanda masih ada di Indonesia,
lengkap dengan persenjataannya. Mereka ini merupakan
pendukung kaum federalis. Dengan
demikian, kaum republiken harus juga bersiap menghadapi
konflik dengan tentara Belanda
sebagai sebuah kesatuan resmi atau paling tidak pada oknum
tentara Belanda.[ii]
Artikel sederhana ini hendak
mengungkapkan bagaimana perkembangan yang terjadi di
Indonesia menjelang terbentuknya
kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu hal yang
hendak dicari jawabannya dalam
artikel ini adalah bagaimana hubungan antara kehadiran
kekuatan asing dan perkembangan
tata negara, terutama pada masa sekitar K M B. Selain itu
hendak dibahas mengenai kondisi
yang menyebabkan negara federal hasil K M B dengan cepat
runtuh dan melebur ke dalam R I.
B. Kondisi
Sosial - Politik di Indonesia Setelah K M B
Adanya halangan psikologis yang
seperti itu, ternyata masih ditambah realitas politik yang
berkembang saat itu. Dalam negara
Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia (R I)
yang sesungguhnya tidak lebih
dari satu diantara 32 negara bagian yang ada, pada dasarnya masih
tetap otonom. Kondisi itu
terlihat karena secara administrasi R I tidak bergantung kepada R I S.
Hal itu lebih diperparah lagi,
dengan banyaknya pegawai negeri sipil dalam negara-negara bagian,
seperti Jawa Tengah, Jawa Timur
dan Pasundan yang lebih mentaati aturan-aturan dari Ibukota
RI Yogyakarta dibandingkan
terhadap Jakarta. Keadaan itu seringkali menimbulkan administrasi
ganda yang membingungkan. Ada dua
kelompok pegawai negeri sipil yang berusaha mengatur
teritorial yang sama dengan dua
aturan yang sangat mungkin berbeda.
Fenomena itu merupakan
manifestasi politik pada masa sebelumnya. Pembentukan negaranegara
bagian di berbagai wilayah
Indonesia oleh Belanda, pada dasarnya eksistensinya tidak
pernah diakui oleh Pemerintah R I
di Yogyakarta. Tindakan yang kemudian diambil oleh
Pemerintah R I adalah mendirikan
pemerintahan bayangan di negara-negara bagian, mulai dari
desa sampai ke tingkat yang lebih
tinggi lagi. Untuk menunjukkan eksistensi R I di daerah yang
kemudian dikenal sebagai Bijenkomst
voor Federaal Overleg (BFO) ini, dikirim uang O R I
(Oeang Republik Indonesia).
Dengan tindakan itu, maka secara ekonomis dan politis, R I masih
eksis di wilayah B F O.[iii]
Faktor lainnya adalah prestise R I yang tinggi karena dianggap
sebagai pemenang perang dan
perjuangan kemerdekaan. Prestise itu semakin meningkat dengan
terjaminnya law and order di
wilayah R I, kelancaran administrasi pemerintahan, dan korupsi
yang relatif tidak ada
dibandingkan dengan negara-negara bagian lainnya.[iv]
Semua kondisi itu diperkuat
dengan solidnya kaum republiken di tubuh pemerintahan R I
S. Mulai dari Presiden R I S,
Soekarno jelas merupakan seorang republiken yang pasti
mendukung gerakan kembalinya
negara kesatuan. Perdana Menteri Hatta dan kabinetnya juga
didominasi oleh kaum republiken.
Oleh karena itu, secara politis dan adminitratif kaum
republiken sudah menguasai
pemerintahan Negara R I S. Saat itu, dalam susunan kabinet Hatta
yang dianggap mewakili kaum
federalis hanya lima orang, yaitu; Anak Agung Gde Agung
sebagai menteri dalam negeri,
Kosasih sebagai menteri sosial, Arnold Mononutu sebagai menteri
penerangan, Sultan Hamid II dan
Suparmo sebagai menteri tanpa portopolio. Akan tetapi apabila
diperhatikan lagi, diketahui
bahwa meskipun Arnold Monomutu berasal dari B F O,
sesungguhnya dalam parlemen
Negara Indonesia Timur (N I T), dia merupakan kelompok prorepubliken.
Dengan demikian, dia dipandang
lebih republiken daripada federalis.[v] Dari semua
anggota kabinet Hatta, yang
sungguh-sungguh mendukung bentuk negara feral hanyalah Sultan
Hamid II dan Anak Agung Gde
Agung.[vi]
Pada sisi yang lainnya terdapat
ambisi politik yang kuat dan terus dipelihara dalam tubuh
Pemerintahan dan Negara R I untuk
mengembalikan bentuk negara kesatuan di Indonesia. Hal itu
dapat diketahui dengan
ditempatkannya usaha untuk meneruskan perjuangan mencapai negara
kesatuan yang meliputi seluruh
Kepulauan Indonesia dalam program kabinet Dr. A. Halim,
Perdana Menteri R I.[vii]
Dorongan semangat yang lebih besar datang muncul karena dua
kejadian. Pertama, ditariknya
kekuatan militer Belanda di negara bagian yang tergabung dalam
BFO. Kedua, berkaitan dengan yang
pertama, kondisi tersenut menyebabkan dibebaskannya
ribuan tahanan politik yang
sangat pro-republiken dari berbagai penjara. Semua kondisi itu
menyebabkan kekuatan gerakan
persatuan menjadi lebih besar. Gerakan yang menentangnya
hanya muncul di tempat-temapt di
mana sejumlah kesatuan pasukan kolonial dan Koninklijk
Nederlandsch
Indisch Leger (KNIL)
belum didemobilisasi.[viii]
Kuatnya gerakan persatuan itu
kemudian semakin bertambah kuat karena mayoritas
masyarakat negara bagian juga
tidak mendukung pembentukan negara-negara bagian tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan
bahwa pembentukan negara-negara bagian sangat tidak
memiliki dukungan yang kuat,
kecuali dari Belanda. Oleh karena itu, ketika Belanda mulai
melepaskan kontrolnya atas
negara-negara bagian maka rakyat negara bagian itu bergerak
menuntut untuk kembali kepada R
I. Dengan kondisi itu, maka kejatuhan negara-negara bagian
tinggal menunggu waktu saja. Oleh
karena itu wajar apabila di berbagai negara bagian muncul
gerakan yang menuntut pembubaran
pemerintah daerahnya atau negara bagiannya. Gerakan
semacam itu kemudian menuntut
agar daerahnya digabungkan kepada R I.
C. Gerakan
Pembubaran Negara Federal di Daerah
Negara bagian yang memelopori
pembubaran pemerintahannya adalah Pasundan. Tindakan itu
dilakukan bahkan sebelum
Pemerintahan R I S resmi terbentuk dan berkuasa di Indonesia. Jadi di
Pasundan gerakan menentang bentuk
federal sudah dilakukan bahkan ketika negara Indonesia
belum resmi berbentuk federal.
Kemunculan gerakan anti negara federal dimulai kuandengan
adanya resolusi dari berbagai
elemen masyarakat untuk menggabungkan wilayahnya dengan R I.
Keadaan itu sebagian besar
disebabkan kurang mampunya Pemerintah Pasundan untuk
memelihara keamanan dan
ketertiban di wilayahnya. Situasi itu mendorong adanya resolusi dari
Indramayu yang diantaranya
ditujukan kepada Presiden R I dan ketua Komite Nasional Indonesia
Pusat. Isi resolusi itu mendesak
Pemerintah R I S supaya sebelum pengkuan kedaulatan selekas
mungkin mengubah status Jawa
Barat menjadi daerah R I dengan cara menghapus Negara Bagian
Pasundan. Tindakan itu dilakukan supaya
keadaan di Jawa Barat aman tentram. Resolusi itu
muncul berdasarkan kejadian di
desa-desa yang keamanannya tidak terjamin. Hal itu
membuktikan bahwa Negara Bagian
Pasundan tidak dapat menjamin keamanan dan ketentraman
rakyatnya.[ix]
Kondisi itu kemudian meluas
dengan keputusan kepala desa di Tasik Malaya yang
memutuskan hubungan dengan
Pemerintah Pasundan dan memilih bergabung dengan R I. Lebih
jauh lagi tindakan itu kemudian
didukung oleh sebelas anggota Dewan Perwakilan Kabupaten
Tasikmalaya.[x] Dengan demikian
peristiwa ”pembelotan” para kepala desa itu mendapatkan
dukungan politis di tingkat
pusat, sehingga mendapatkan legitimasi yang kuat secara politik.
Dukungan rakyat Jawa Barat
terhadap gerakan penyatuan semakin besar ketika terjadi peristiwa
Westerling di Bandung pada awal
1950.
Semua kondisi itu telah merusak
kedudukan dan reputasi kaum federalis. Apalagi sejak
peristiwa Westerling timbul
keyakinan di kalangan masyarakat bahwa beberapa pejabat tertentu
Pemerintah Pasundan telah
mengadakan semacam perjanjian dengan Westerling. Tuduhan itu
menguat karena adanya kenyataan
bahwa sejumlah anggota Pemerintahan Pasundan ternyata
berkebangsaan Belanda. Mereka itu
kebanyakan bertugas di bidang militer. Saat itu, sebagian
perwira polisi dan Militer dalam
tubuh Pasundan masih dijabat orang-orang Belanda. Mereka
itulah yang kemudian membelot
kepada Westerling.[xi]
Keadaan itu semakin memperkuat
posisi kaum republiken di Parlemen Pasundan.
Dimotori oleh Oli Setiadi dan Dr.
Hasan Nata Begara Cs, mereka ini kemudian mendesak
parlemen agar Negara pasundan
dibubarkan saja.[xii] Dengan kondisi politik yang seperti itu,
akhirnya melalui Keputusan
Parlemen Pasundan 8 Maret 1950 dengan suara bulat diputuskan
untuk menggabungkan Negara
Pasundan ke dalam Negara R I.[xiii] Keputusan itu kemudian
disahkan dengan lahirnya Surat
Keputusan R I S No 113 tanggal 11 Maret 1950 yang menyatakan
bahwa wilayah Pasundan termasuk
ke dalam Negara R I. Pemerintah R I S di Jawa Barat
kemudian diganti dengan
Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan gubernurnya yang dijabat oleh
M. Sewaka, yang sebelumnya bertugas
sebagai Komisaris R I S di Pasundan.[xiv]
Meskipun demikian, negara bagian
pertama yang secara resmi bergabung kembali dengan
R I adalah Negara Bagian Sumatera
Selatan. Pada tanggal 10 Februari 1950, Dewan Perwakilan
Negara Bagian Sumatera Selatan
mengadakan pemungutan suara untuk menyerahkan kekuasaan
negara bagian itu kepada
Pemerintah R I S. Peristiwa itu kemudian menjadi efek bola salju yang
semakin lama semakin besar, karena
kejadian di Sumatera Selatan segera diikuti oleh hampir
semua negara bagian. Namun
demikian ada kecenderungan untuk lebih memilih membubarkan
negara bagian yang bersangkutan
dan kemudian digabungkan ke dalam Negara Bagian R I.
Dengan demikian, negara-negara
bagian itu tidak membubarkan diri dan menyerahkan
kekuasaannya kepada R I S, tetapi
melebur ke dalam R I. Gerakan itu tidak ditentang oleh para
pemimpin R I S. Mereka justru
memberikan kesempatan kepada gerakan tersebut untuk
meneruskan tindakannya.
Fenomena itu disebabkan gelombang
pasang semangat nasionalis yang besar di kalangan
anggota Senat R I S. Mereka itu
percaya bahwa tujuan dan politik masa depan mereka harus
disesuaikan dengan kondisi
politik yang sedang berkembang saat itu. Oleh karena itu, mereka
mengikuti kemauan Majelis
Permusyawaratan[xv] dan Pemerintah R I S untuk mengeluarkan
suatu undang-undang darurat
berdasarkan Pasal 130 Kontitusi R I S yang berisi pembubaran
negara-negara bagian dan
digabungkan ke dalam R I. Undang-undang itu dikeluarkan pada
tanggal 7 Maret 1950. Dua hari
kemudian, diadakan pemungutan suara bagi persetujuan
penggabungan Jawa Timur, Jawa
Tengah, dan Madura ke dalam R I. Setelah itu, berbagai daerah
dan negara bagian mengajukan
permohonan untuk menggabungkan diri ke dalam R I. Sehingga
pada akhir Maret 1950 tinggal
empat negara bagian yang masih berdiri, yaitu Kalimantan Barat,
Negara Sumatera Timur (NST),
Negara Indonesia Timur (NIT) dan R I yang wilayahnya menjadi
lebih luas.[xvi]
Setelah Kalimantan Barat digabungkan
ke dalam R I melalui sidang Majelis
Permusyawaratan pada tanggal 22
April 1950,[xvii] maka tinggal tiga negara bagian dalam R I S,
yaitu; R I, N S T, dan N I T.
Masih kokohnya dua negara bagian terakhir itu disebabkan beberapa
faktor. Berhubungan dengan
kokohnya N I T sebagai negara bagian dalam R I S, terdapat banyak
hal bersifat kompleks yang telah
membentuk aliansi anti republik. Aliansi itu terdiri dari kaum
bangsawan Melayu, bagian terbesar
raja-raja Simalungun, beberapa Kepala Suku Karo, dan
kebanyakan tokoh masyarakat
Cina.[xviii] Mereka itu semua merasa kedudukannya terancam
dengan berdirinya negara baru.
Perasaan itu muncul karena selama tahun-tahun awal
kemerdekaan terdapat pengalaman
pahit berkaitan dengan tekanan kaum republik terutama kaum
pemudanya yang sangat anti
bangsawan. Oleh karena itu, bagi kaum bangsawan Sumatera Timur
mereka mendambakan kembalinya
Pemerintah Kolonial Belanda yang mampu menjamin
kedudukan dan keselematannya.
Dalam pandangan kaum bangswan Melayu, R I akan mengancam
kelanjutan perlindungan dan
keistimewaan yang mereka nikmati di bawah payung pemerintah
kolonial. Kondisi itu kemudian
ditambah munculnya kesadaran oleh para petani Melayu pada
akhir 1945 bahwa ada keinginan di
kalangan mayoritas penduduk non-Melayu untuk menghapus
hak-hak istimewa kaum Melayu atas
tanahnya.[xix] Sehingga mereka menyambut baik
kalangancampur tangan Belanda di
Sumatera Timur. Harapannya adalah dengan kembalinya
Belanda, maka akan pulih kembali
hak-hak adat penduduk Melayu maupun penduduk asli
lainnya. Selain itu, tentu saja
akan terjaga segala kepentingannya.
Bersamaan dengan itu beberapa
anggota pribumi Pemerintah Kolonial yang kolot,
terutama beberapa tokoh Batak
karena takut terhadap penguasaan Pemerintah Republik oleh kaum
”ekstrimis” bergeser lebih jauh
ke dalam kubu kaum anti-republik.[xx] Perasaan phobia terhadap
kehadiran R I juga merasuki kaum
Cina di Sumatera Timur. Mereka itu telah menderita di bawah
tekanan kaum ”ekstrimis”
republik. Bentuk fisik yang berbeda dengan penduduk asli, ditambah
dengan kedudukan ekonomi yang
lebih baik sehingga sering menimbulkan kecemburuan sosial.
Semua itu menjadikan orang-orang
Cina sebagai sasaran kekejaman para pemuda ”pejuang”.
Selama bulan-bulan awal revolusi
sekelompok pemuda secara teratur merampoki toko-toko dan
gudang-gudang milik orang
Cina.[xxi] Sebagai jawabannya kemudian masyarakat Cina di Medan
mendirikan kesatuan Poh An Tui,
yaitu pasukan keamanan Cina yang dipersenjatai Inggris.
Mereka ini meronda daerah pecinan
di Medan, Binjai, dan Pemantang Siantar. Kesatuan tersebut
bersama dengan pasukan Belanda
turut serta mempersiapkan berdirinya N S T yang disponsori
Belanda dan bangsawan
setempat.[xxii] Secara riil, kelompok masyarakat yang tergabung dalam
aliansi anti R I sesungguhnya
hanya sepertiga saja dari jumlah seluruh pendukungnya.[xxiii] Akan
tetapi dengan adanya perpecahan
antar elit dan masyarakat membuat daerah itu mampu
dimanfaatkan Belanda sebagai
salah satu negara bagian dengan tokoh-tokoh dan pasukan militer
yang kuat dan gigih menentang
keberadaan R I di wilayahnya.
Kombinasi dari semua faktor itu
akhirnya mendukung lahirnya aliansi anti republik di
Sumatera Timur. Keadaan itu
membuat N S T masih berdiri hingga saat terakhir eksistensi R I S.
Walaupun demikian, tidak berarti
rakyat di Sumatera Timur tidak menghendaki pembubaran
negara bagiannya dan memilih
bergabung dengan R I. Selama revolusi fisik, di Sumatera Timur
bahkan muncul berbagai macam
kelompok bersenjata yang gigih berjuang melawan Belanda.
Meskipun kontrol pemerintah pusat
terhadap mereka sangat lemah, bahkan dapat dikatakan tidak
ada sama sekali.
N I T mampu bertahan hingga akhir
karena beberapa faktor. Pertama, Belanda sejak awal
sudah memilih Indonesia Timur
untuk dijadikan daerah utama yang akan bergabung dengan
sebuah negara federal Indonesia
Serikat. Di samping itu, ada satu hal yang penting yaitu; secara
militer Belanda aktif di kawasan
itu. Belanda sejak lama menjadikan daerah Ambon dan
Minahasa sebagai keanggotaan K N
I L.[xxiv] Dengan kondisi itu, tidak heran bila Indonesia
Timur menjadi daerah pertama yang
dijadikan Belanda sebagai daerah bagian yang akan
bergabung ke dalam apa yang
disebut Negara Indonesia Serikat. Indonesia timur dapat seperti itu
karena Belanda mempunyai
persiapan matang untuk kembali berkuasa di wilayah tersebut.
Kondisi itu disebabkan adanya
dukungan kuat dari militer Australia yang ditugasi Sekutu
untuk mengamankan kawasan
tersebut terhadap Belanda. Oleh karena itu, para pejabat N I C A
(Netherlands Indies Civil
Administration) dengan leluasa dapat masuk ke wilayah Sulawesi
dengan membonceng pasukan Sekutu,
termasuk pasukan pelopor yang mendarat di Makassar 21
September 1945. Mereka itulah
yang kemudian membebaskan semua tahanan Sekutu di Sulawesi
Selatan dan menempatkan sekitar
3000 orang Belanda bekas tahan Jepang kembali ke
Makassar.[xxv] Keadaan itu memang
berbeda dengan tindakan pasukan Inggris di Jawa
yang tidak leluasa karena
khawatir membahayakan keselamatan tahanan dan tawanan perang yang
banyak jumlahnya. Pasukan
Australia di Sulawesi relatif bebas untuk berurusan dengan pasukan
Jepang ataupun dengan bekas
pejabat lokal.
Tujuan utama mereka adalah
mendirikan pemerintahan yang dapat menjamin ketertiban
umum dan mendapatkan beras dari
daerah pedalaman bagi kebutuhan pangan penduduk
Makassar. Untuk itu mereka segera
mengangkat para pejabat Belanda sebelum P D II. Beberapa
diantaranya adalah interniran yang
baru saja dibebaskan dari kamp tahanan Jepang, sebagai
pejabat sementara pemerintahan
sipil. Kondisi itu segera dipergunakan Belanda untuk membanjiri
daerah-daerah yang diduduki
Pasukan Australia dengan pasukan Belanda dan bekas pegawai
pamong praja (Corps Binneland
Bestuur), seperti residen, asisten residen, kontrolir atau jabatan
lainnya.[xxvi] Dengan demikian
sesungguhnya tentara Australia telah bekerja untuk kepentingan
Belanda.
Dukungan terang-terangan pasukan
sekutu (Australia) terhadap Belanda dapat diketahui
dari maklumat Panglima Tentara
Australia di Makassar Brigadir Jendral Chilton pada tanggal 29
Oktober 1945 yang isinya sangat
menekan gerakan pemuda pendukung proklamasi kemerdekaan.
Salah satu isinya adalah melarang
orang memakai seragam militer atau uniform lain, selain
anggota pasukan Sekutu atau
polisi. Selain itu, dalam maklumat itu juga melarang penduduk
untuk mengikuti latihan militer,
memakai atau mempunyai segala macam senajat api dan senjata
tajam, mengadakan pawai atau
pertunjukan, dan sebagainya. Lebih lanjut Jendral Chilton bahkan
telah melarang Gubernur Sulawesi
saat itu Dr. G.S.S.J. Ratulangi untuk menjalankan tugasnya,
karena pemerintaha sipil telah
dijalankan oleh NICA dengan tanggung jawab dan perlindungan
tentara Australia yang bertindak
sebagai kesatuan Sekutu. Apabila perintah itu dilanggar oleh Dr.
G.S.S.J. Ratulangi maka
terhadapnya akan diambil tindakan penahanan.[xxvii]
Posisi Belanda semakin kuat
dengan diijinkannya Pemerintah Belanda menempatkan
seorang berpangkat Chief
Commanding Officer NICA (Chief Co-NICA) di Morotai mendampingi
Panglima Tertinggi Tentara
Australia. Chief Co-NICA ini mempunyai wewenang seluruh wilayah
Indonesia Timur dan Kalimantan
(kecuali Bali). Selain itu dia juga membawahi semua petugas
NICA yang ada di Indonesia Timur.
Dengan kesempatan yang diberikan oleh Pasukan Australia,
Belanda dalam waktu singkat
berhasil mengembalikan fungsi aparat pemerintahannya di wilayah
Indonesia bagian timur. Semuanya
itu jelas mempunyai pengaruh atas perkembangan politik di
wilayah yang bersangkutan. Oleh
karena dengan persiapan matang itulah, maka secara politis
wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara
dan Maluku yang kemudian disebut sebagai Indonesia Timur
menjadi salah satu daerah yang
secara politis cukup kuat untuk menjadi semacam daerah yang
berdiri sendiri terpisah dengan
Pemerintah R I di Yogyakarta. Hal itulah yang menyebabkan N I T
dapat bertahan lama menjadi
daerah bagian dalam wilayah federal R I S.
Semua kondisi itu kemudian
ditambah dengan adanya dukungan yang datang dari para
aristokrat, terutama mereka yang
telah diangkat sebagai pengganti para kepala dan penguasa yang
pro-RI.[xxviii] Sehingga
kedudukannya sangat tergantung kepada keberadaan dan dukungan
Belanda. Mereka itu biasanya
adalah para bekas Binneland Bestuur (pamong praja) yang dulunya
bekerja untuk Belanda pada masa
kolonial. Oleh karena itu wajar apabila kemudian bekerja
kembali untuk tuannya itu.
Bersama-sama dengan polisi lokal
yang dipekerjakan di bawah kekuasaan dan tanggung
jawab Pemerintah Indonesia Timur
melalui SK Letnan Gubernur Jendral 14 Maret 1946 No 3 dan
SK Komisariat Pemerintahan Umum
untuk Borneo dan Timur Besar tanggal 14 Maret 1946 No
ARC 1/9/43 dan No ARC 1/9/7.
Kondisi itu berarti semua residen, asisten residen, kontrolir, dan
pamong praja Indonesia seperti
bestuur assistant, menteri polisi dan pegawai administrasi lainnya,
demikian juga dengan pegawai
kepolisian dari Hoofkomisaris sampi pangkat terendah yang
dulunya dipekerjakan di wilayah
Indonesia Timur mulai saat itu ada di bawah kekuasaan dan
tanggung jawab Kementerian Dalam
Negeri N I T.[xxix]
Dengan semua latar belakang yang
seperti itu wajar apabila N I T mampu bertahan hingga
akhir dalam tubuh R I S. Meskipun
demikian dalam wilayah N I T dapat pula diketemukan
gerakan perlawanan terhadap
Belanda yang sangat keras, bahkan tidak kalah kerasnya
dibandingkan yang ada di Jawa.
Akan tetapi, karena kuatnya militer Belanda di sana, maka
gerakan kaum republiken dapat
diatasi oleh Belanda dan para kolaboratirnya. Pada akhirnya
ketika militer Belanda ditarik
dari wilayah itu, maka kaum federalis mulai menyadari bahwa
mereka tidak akan mampu bertahan
dari arus republiken. Hal itu semakin jelas ketika ribuan
tahanan politik yang semuanya
kaum republiken dibebaskan, maka tuntutan terhadap pembibaran
N I T dan penggabungan ke dalam R
I semakin nyata dan kuat.
Sehubungan dengan semakin kuatnya
gerakan pro-republik, maka tanggapan yang
diberikan oleh elit N I T ada dua
cara. Pertama, mereka berusaha mencegah gerakan tersebut.
Akan tetapi ketika gerakan itu
semakin kuat, maka mereka berusaha memisahkan diri dengan
membentuk negara terpisah dari
Indonesia. Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Soumokil cs yang
berusaha mendirikan Republik
Maluku Selatan (RMS). Sedangkan yang lainnya berusha untuk
meleburkan diri ke dalam tuntutan
masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden N I T
Sukawati, Menteri Dalam Negeri
Daeng Passewang dan lainnya yang ada dalam kabinet terakhir
N I T. Sesungguhnya kabinet
terakhir N I T berisi tokoh-tokoh yang siap meleburkan N I T ke
dalam R I.[xxx] Oleh karena itu
proses perubahan R I S menjadi negara kesatuan dapat berjalan
tanpa hambatan dalam tataran
politis.
D. Peleburan
Federal Menjadi Negara Kesatuan
Dengan semua perkembangan politik
di Indonesia itu memaksa para elit yang ada di N I T dan N
S T untuk berunding dengan
pemerintah R I S. Oleh karena itu, dari tanggal 3 sampai 5 Mei 1950
diadakan perundingan antara PM R
I S M. Hatta, Presiden N I T Sukawati, dan PM NST Dr.
Mansyur. Hasilnya adalah
disetujuinya pembentukan suatu negara kesatuan. Akan tetapi, pada
tanggal 13 Mei 1950 Dewan
Sumatera Timur menentang keputusan itu. Meskipun demikian,
Dewan Sumatera Timur masih
bersedia menerima pembubaran R I S dengan syarat N S T
dileburkan ke dalam R I S bukan
ke dalam R I. Walaupun ada dukungan kuat dari sebagian besar
penduduk Sumatera Timur, tetapi
PM Hatta mendukung Dewan N S T. Keputusan Hatta itu
didasari situasi di Sumatera
Timur yang masih rapuh untuk bergabung dengan R I. Hatta berpikir
bahwa apabila diambil jalan
penggabungan N S T langsung ke dalam R I, mungkin dapat
mendorong para bekas K N I L yang
saat itu masih menjadi anggota batalyon keamanan N S T
untuk memberontak sebagaimana
tindakan yang diambil teman-temannya di Ambon.
Sehubungan dengan hasil
konferensi antara Hatta, Mansyur dan Sukawati, maka sebagai
tindak lanjut diadakan
perundingan antara PM-R I S Hatta yang mewakili N I T beserta dengan N
S T di satu pihak dan PM-RI A.
Halim pada pihak lainnya. Hasilnya adalah tercapainya
persetujuan pada tanggal 19 Mei
1950 diantara kedua belah pihak untuk membentuk N K R I.
Persoalannya adalah bagaimana
cara untuk membentuk sebuah negara kesatuan, sebagaimana
yang dikenhendaki seluruh rakyat
Indonesia.
Pilihan yang diambil para
pemimpin Indonesia adalah dengan cara mengubah Konstitusi R
I S. Pilihan ini diambil karena
apabila semua negara bagian melebur ke dalam R I S (R I akan
menjadi satu-satunya negara
bagian dari R I S, sehingga R I S akhirnya terlikuidasi) akan
menimbulkan berbagai macam
kesulitan. Pertama, akan timbul masalah dengan para bekas
anggota K N I L. Di samping itu
ada alasan penting lainnya menyangkut hubungan dengan luar
negeri. Jika seluruh negara
bagian bergabung dengan R I, maka akan timbul kesulitan.
Persoalannya adalah R I yang
masih eksis adalah R I sebagai negara bagian R I S(sebagai akibat
persetujuan KMB). Padahal yang
menyelenggarakan hubungan luar negeri adalah R I S yang telah
dilikuidasi. Dengan perkataan
lain proses kembali dari R I S ke N K R I melalui cra ini berarti
peleburan negara yang telah
mendapat pengakuan internasional dengan memunculkan sebuah
negara baru. Oleh karena itu agar
pengakuan dunia internasional tetap terpelihara secarayuridis,
maka pembubaran R I S harus
dihindari.
Satu pilihan cerdik akhirnya
diambil, yaitu dengan jalan mengubah konstitusi R I S. Jadi
secara yuridis N K R I adalah
perubahan dari R I S sebagai negara federal menjadi negara
berbentuk kesatuan. Melalui cara
itu terhindar permasalahan berkaitan dengan dunia internasional.
Apabila R I S dibubarkan dan
digantikan oleh R I sebagai negara bagian dalam tubuh R I S, maka
negara baru yang muncul itu tidak
dapat menjalankan hubungan internasional secara yuridis
formal. Hal itu disebabkan R I
sebagai negara bagian tidak dapat menyelenggarakan hubungan
internasional. Akan lain
persoalannya apabila R I S berganti menjadi negara kesatuan. Secara
yuridis tidak akan ada
permasalahan dengan dunia internasional, karena yang berubah hanya
konstitusinya saja, bukan
negaranya.
E. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat
diketahui bahwa bahwa perkembangan masalah ketatanegaraan
Indonesia masa revolusi sangat
erat kaitannya dengan kehadiran kekuatan asing. Indonesia
mengalami perubahan bentuk negara
dari kesatuan menjadi negara federal bukan saja disebabkan
oleh faktor dalam negeri, tetapi
ada hubungannya dengan kehadiran Belanda dan Australia.
Kuatnya keinginan Belanda sebagai
negara koloni untuk mempertahankan pengaruh dan
kekuasaannya di Indonesia membuat
negara ini sempat mengalami perubahan bentuk negara.
Selain itu, masih ada satu faktor
lagi yaitu adanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang
merasa lebih nyaman dan tenang di
bawah payung kolonial Belanda membuat ide negara federal
dapat hidup dan bertahan selama
masa sekitar K M B. Kehadiran pasukan Belanda dengan
kekuatan yang lebih besar
dibandingkan dengan militer Indonsia, yang baru terdiri dari pemuda
pejuang menjadikan pendukung ide
negara federal di beberapa tempat berada di atas angin. Oleh
karena itulah, negara federal
dalam bentuk R I S sempat terwujud melalui KMB, meskipun hanya
seumur jagung.
Terjadinya perubahan dari negara
federal menjadi negara kesatuan tidak dapat disangkal
disebabkan dukungan politik dari
masyarakat Indonesia terhadap ide negara federal sesungguhnya
sangat lemah. Ide negara federal
muncul dari ambisi politik orang-orang Belanda yang agaknya
takut negerinya tidak lagi
mempunyai peran di Asia. Oleh karena itulah ketika masalah
kemerdekaan Indonesia sudah tidak
dapat ditawar lagi, mereka memperkenalkan ide mengenai
pembentukan negara federal. Akan
tetapi, ide ide hanya didukung oleh sebagain kecil masyarakat
Indonesia, yaitu mereka yang
pernah merasakan nikmatnya hidup dalam lindungan kekuasaan
kolonial Belanda. Hal itu
terbutki ketika sebagian besar pasukan Belanda mulai ditarik dari
Indonesia. Bersamaan dengan itu
dibebaskannya tahanan politik yang sebagaian besar merupakan
elit politik pro-republik membuat
desakan masyarakat untuk mengganti negara federal kepada
bentuk negara kesatuan semakin
kuat. Dengan demikian jatuhnya negara federal tinggal
menunggu waktu setelah situasi
politik di Indonesia benar-benar berubah.
Catatan
------------------------------------
[i] George Mc Turnan Kahin,
Nasionalisme dan Revolusi di Indoensia (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan kerja sama dengan
Sebelas Maret University Press, 1995), hlm. 571.
[ii]Bukti keterlibatan oknum
tentara Belanda ada pada gerakan Westeling di Bandung dan Jakarta. Peristiwa
itu membuktikan bahwa di kalangan
militer Belanda masih ada ketidakrelaan dengan berdirinya sebuah negara
Indonesia yang merdeka dan
berdaulat penuh. Sekaligus bukti ketidaksukaan tentara Belanda atas
perkembangan
politik di Indonesia yang sedang
mengarah kepada pembentukan kembali sebuah negara kesatuan.
[iii]Meutia Farida Swasono, Bung
Hatta, Pribadinya dalam Kenangan (Jakarta: Sinar Harapan, 1980), hlm.
184-187.
[iv]G. Moedjanto, Indonesia Abad
ke-20 II (Yogyakarta: Kanisius 1988), hlm. 70
[v]Kahin, 1995, op. cit., hlm.
569.
[vi]Herbert Faith, The Decline of
Constitutional Democracy in Indonesia (New York: Ithaca, 1962), hlm. 47.
[vii]Baca; Kedaulatan Rakyat, 21
Januari 1950.
[viii]Kahin, 1995, op. cit., hlm.
572.
[ix] Pada umumnya rakyat daerah
Indramayu menaruh kepercayaan kepada TNI untuk melindungi dan
mengembalikan keamanan dan
ketertiban dalam masyarakat. Lebih jelas baca; Kedaulatan Rakyat, 17 Desember
1950
[x]Kedaulatan Rakyat, 20 Desember
1949.
[xi]Kahin, 1995, op. cit., hlm.
578; Beberapa perwira polisi Belanda yang disersi dan terlibat dalam aksi
gerakan Westerling adalah Bolk
van Beelden dan Van der Meulen. Selain itu terlibat pula dua seksi dari resimen
Stootoepen. Lebih jelas baca;
Indonesia Timur, 24 Januari 1950. Lihat juga A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan
Tugas II (Jakarta: Gunung Agung,
1983), hlm. 223.
[xii] Sewaka, Tjorat-Tjoret dari
Jaman ke Jaman (Bandung: Visser, 1955), hlm. 171.
[xiii]Tanu Suherly, Sekitar
Negara Pasundan, Naskah Seminar Sejarah Nasional II
(Yogyakarta: 26-29 Agustus 1970).
[xiv]Helius Sjamsudin et al.,
Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1992), hlm. 82.
[xv]Majelis Permusyawaratan
adalah sidang gabungan parlemen R I S dan Senat R I S.
[xvi]Kahin, 1995, op. cit., hlm.
579.
[xvii]Ibid.
[xviii]Michael van Langenberg,
Sumatera Timur: Mewadahi Bangsa Indonesia dalam Sebuah Karesidenan
di Sumatera Timur”, dalam Audery
Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1990), hlm. 140.
[xix]Ibid., hlm. 139.
[xx]Michael van Langenberg,
“Class and Etnic Confliv in Indonesia’s Decolonization Process: A Study
Case of East Sumatra” in
Indonesia XXXIII, April 1982, hlm. 11.
[xxi]Michael van Langenberg,
1990, op. cit., hlm. 139. Lihat juga; Mohammad Said, Empat Belas Boelan
Pendoedoekan Inggris di Indonesia
(Medan: Berita Antara, 1946), hlm. 121-122.
[xxii]Ibid.
[xxiii]Ibid., hlm. 140.
[xxiv]Barbara S. Harvey, “Boneka
dan Patriot”, dalam Audrey R. Kahin, 1990, op. cit., hlm. 223.
[xxv]Ibid., hlm. 217; Lihat juga
W.B. Russel, The Second Fourteenth Batalion: A History of an Australian
Infantry Batalion in the Second
World War (Sydney: Angus and Robertson, 1948), hlm. 312.
[xxvi]Ida Anak Agung Gde Agung,
Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat
(Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press, 1985), hlm. 40.
[xxvii]Ibid., hlm. 30.
[xxviii]Barbara S. Harvey, 1990,
op. cit., hlm. 227.
[xxix] Ida Anak Agung Gde Agung,
1985, op. cit., hlm. 187.
[xxx]R. Nalenan, Arnold Mononutu: Potret Seorang
Patriot (Jakarta: Gunung Agung, 1981), hlm. 203
0 komentar:
Posting Komentar