Jumat, 14 Desember 2012

pengertian lengkap tentang software


Konfigurasi software
software (perangkat lunak) adalah serangkaian program, procedur dan dokemuntasi yang berhubungan dengan pengolahan data . Namun kini istilah software yang dikenal adalah berkenaan dengan program yang digunakan pada suatu sistem komputer. Klasifikasi dari software terbagi menjadi :
A.    Sistem Operasi
Sistem operasi ditujukan untuk mengontrol input/output device, manajemen penyimpanan, manajemen data, penerjemahan bahasa dari pelajaran lain yang berhubungan dengan hardware. Sistem operasi ini sangat dibutuhkan pada komputer karena sistem operasi digunakan pada awal bekerjanya komputer atau sebagai penghubung antar hardware dan software.
      Adapun fungsi dasar dari sistem operasi adalah :
A.    Menjadwalkan Tugas
   Fungsi ini untuk mengurutkan pelaksanaan tugas dari pemakai komputer sesuai dengan prioritas yang telah di tentukan organisasi atau perusahaan.
B.    Mengelola sumberdaya perangkat lunak dan perangkat keras
           Dengan adanya sistem operasi, sumber daya perangkat keras dapat dikelola dengan baik. Seperti menyimpan hasil kerja pemakai komputer dalam menyimpan fisik dan pembuatan program yang berbeda antara satu pemakai yang lain untuk pemakaian sumberdaya tersebut sesuai dengan  kebutuhannya
C.    Menjaga Keamanan Sistem
Kini sistem operasi dikembangkan dengan menambahkan
      Password pada awal dijalankannya sistem operasi tersebut dijalankannya sistem operasi tersebut seperti LINUX/UNIX dan Windows NT, sehingga pemakai komputer antara pemakai biasa (user) adminstrator dan supervisor dan jika password tersebut tidak ditemukan pemakai komputer yang tidak terdaftar dalam sistem operasi tidak dapat menggunakan komputer tersebut. Dengan demikian , komputer dapat dari tangan tangan yag tidak mempunyai kepentingan terhadap perusahaan atau organiisasi

Jumat, 23 November 2012

Keluarga Sehat


Keluarga Sehat
                Ketika dua insan bertemu dalam sebuah mahligai pernikahan, mereka bernama Aisyah dan Adrian. Akhirnya, setelah sekian lama menunggu dan melalui proses yang begitu panjang bahkan sampai enam generasi padi terlewati.Dengan ijin Tuhanlah mereka dapat  menjadi sepasang suami istri yang sah menurut agama dan negara.
                Mereka pun memutuskan keluar dari kehidupan lama dan memulai hidup baru. Sekarang mereka tinggal di sebuah gubuk tua yang memiliki fasilitas yang terbatas bagai rumah tak beralas. Mereka hidup hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena Adrian hanya berkerja sebagai petani dan Aisyah sebagai ibu rumah tangga.
                Satu bulan setelah pernikahan mereka berlangsung, Aisyah merasa mual dan muntah. Adrian pun bagaikan anak ayam yang terpisah dari induknya. Untungnya datang ibu Aisyah yang berkata bahwa “ Istrimu hamil Adrian”.

Minggu, 18 November 2012

Dari Negara Federal Menjadi Negara Kesatuan


(Proses Perubahan Negara Republik Indonesia Serikat Menjadi
Negara Kesatuan Republik Indonesia)
Oleh : Haryono Rinardi
(Jurusan Sejarah UNDIP)
Abstract
One of important periods in Indonesian history is physical revolution that’s known as freedom
war. The result is change of statecraft on Indonesia. Bases on UUD’45 as constitution of state,
Indonesia use unity state formation. But, periods Indonesia had to use federal state formation.
These article would described change of state formation from federal back to unity state
formation in middle of 1950.
Key words: State formation, federal, and unity.
A. Pendahuluan
Awal tahun 1950 merupakan periode krusial bagi Indonesia. Pertentangan dan konflik untuk
menentukan bentuk negara bagi Bangsa dan Negara Indonesia tengah berlangsung. Pada satu sisi,
secara resmi saat itu Indonesia merupakan negara federal, sebagaimana hasil perjanjian
Konferensi Meja Bundar (KMB). Akan tetapi, pada saat yang bersamaan muncul gerakan yang
menentang keberadaan negara federal itu. Gerakan ini eksis bukan saja di kalangan elit, tetapi
juga di kalangan masyarkat bawah. Gerakan tersebut menghendaki diubahnya bentuk negara
federal menjadi negara kesatuan.
Oleh banyak pengamat luar negeri gerakan itu dianggap terlalu dini, tergesa-gesa, tidak
perlu dan agak angkuh. Pandangan seperti itu muncul, karena gerakan kaum republiken itu
dianggap tidak memperhatikan semangat dan fasilitas yang ada dalam persetujuan KMB. Akan
tetapi apabila diperhatikan jauh, gerakan tersebut bukan saja kuat, tetapi juga sehat. Secara sosial
dan politik, Indonesia akan berada dalam keadaan yang tidak baik jika tidak ada perkembangan
tersebut. Bagi kebanyakan orang Indonesia, sistem federal dianggap sebagai warisan kolonial
sehingga harus segera diganti. Sistem itu dipandang sebagai alat pengawasan dan peninggalan
Belanda. Oleh karena itu, sistem federal merupakan halangan bagi tercapainya kemerdekaan
Indonesia yang lepas sama sekali dari Belanda. Dengan dasar pikiran itu, maka mempertahankan
sistem federal berarti mempertahankan warisan penjajahan masa lampau yang tidak disukai
masyarakat.[i]
Meskipun demikian perjuangan kaum republiken untuk mewujudkan terbentuknya sebuah
negara kesatuan bukan merupakan pekerjaan yang mudah. Pada satu sisi, saat itu secara resmi
masih tegak berdiri sebuah negara yang secara resmi berbentuk negara federal lengkap dengan
alat-alat kenegaraannya. Dengan demikian, betapapun lemahnya pendukung sistem negara federal
tersebut pasti masih ada di Indonesia. Oleh karena itu, perjuangan untuk mengembalikan bentuk
negara dari federal menjadi kesatuan harus dilakukan dengan cara yang benar agar tidak dianggap
sebagai pemberontakan kepada pemerintah yang sah. Pada sisi yang lainnya, saat itu tentara
Belanda masih ada di Indonesia, lengkap dengan persenjataannya. Mereka ini merupakan
pendukung kaum federalis. Dengan demikian, kaum republiken harus juga bersiap menghadapi
konflik dengan tentara Belanda sebagai sebuah kesatuan resmi atau paling tidak pada oknum
tentara Belanda.[ii]
Artikel sederhana ini hendak mengungkapkan bagaimana perkembangan yang terjadi di
Indonesia menjelang terbentuknya kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Satu hal yang
hendak dicari jawabannya dalam artikel ini adalah bagaimana hubungan antara kehadiran
kekuatan asing dan perkembangan tata negara, terutama pada masa sekitar K M B. Selain itu
hendak dibahas mengenai kondisi yang menyebabkan negara federal hasil K M B dengan cepat
runtuh dan melebur ke dalam R I.
B. Kondisi Sosial - Politik di Indonesia Setelah K M B
Adanya halangan psikologis yang seperti itu, ternyata masih ditambah realitas politik yang
berkembang saat itu. Dalam negara Republik Indonesia Serikat (RIS), Republik Indonesia (R I)
yang sesungguhnya tidak lebih dari satu diantara 32 negara bagian yang ada, pada dasarnya masih
tetap otonom. Kondisi itu terlihat karena secara administrasi R I tidak bergantung kepada R I S.
Hal itu lebih diperparah lagi, dengan banyaknya pegawai negeri sipil dalam negara-negara bagian,
seperti Jawa Tengah, Jawa Timur dan Pasundan yang lebih mentaati aturan-aturan dari Ibukota
RI Yogyakarta dibandingkan terhadap Jakarta. Keadaan itu seringkali menimbulkan administrasi
ganda yang membingungkan. Ada dua kelompok pegawai negeri sipil yang berusaha mengatur
teritorial yang sama dengan dua aturan yang sangat mungkin berbeda.
Fenomena itu merupakan manifestasi politik pada masa sebelumnya. Pembentukan negaranegara
bagian di berbagai wilayah Indonesia oleh Belanda, pada dasarnya eksistensinya tidak
pernah diakui oleh Pemerintah R I di Yogyakarta. Tindakan yang kemudian diambil oleh
Pemerintah R I adalah mendirikan pemerintahan bayangan di negara-negara bagian, mulai dari
desa sampai ke tingkat yang lebih tinggi lagi. Untuk menunjukkan eksistensi R I di daerah yang
kemudian dikenal sebagai Bijenkomst voor Federaal Overleg (BFO) ini, dikirim uang O R I
(Oeang Republik Indonesia). Dengan tindakan itu, maka secara ekonomis dan politis, R I masih
eksis di wilayah B F O.[iii] Faktor lainnya adalah prestise R I yang tinggi karena dianggap
sebagai pemenang perang dan perjuangan kemerdekaan. Prestise itu semakin meningkat dengan
terjaminnya law and order di wilayah R I, kelancaran administrasi pemerintahan, dan korupsi
yang relatif tidak ada dibandingkan dengan negara-negara bagian lainnya.[iv]
Semua kondisi itu diperkuat dengan solidnya kaum republiken di tubuh pemerintahan R I
S. Mulai dari Presiden R I S, Soekarno jelas merupakan seorang republiken yang pasti
mendukung gerakan kembalinya negara kesatuan. Perdana Menteri Hatta dan kabinetnya juga
didominasi oleh kaum republiken. Oleh karena itu, secara politis dan adminitratif kaum
republiken sudah menguasai pemerintahan Negara R I S. Saat itu, dalam susunan kabinet Hatta
yang dianggap mewakili kaum federalis hanya lima orang, yaitu; Anak Agung Gde Agung
sebagai menteri dalam negeri, Kosasih sebagai menteri sosial, Arnold Mononutu sebagai menteri
penerangan, Sultan Hamid II dan Suparmo sebagai menteri tanpa portopolio. Akan tetapi apabila
diperhatikan lagi, diketahui bahwa meskipun Arnold Monomutu berasal dari B F O,
sesungguhnya dalam parlemen Negara Indonesia Timur (N I T), dia merupakan kelompok prorepubliken.
Dengan demikian, dia dipandang lebih republiken daripada federalis.[v] Dari semua
anggota kabinet Hatta, yang sungguh-sungguh mendukung bentuk negara feral hanyalah Sultan
Hamid II dan Anak Agung Gde Agung.[vi]
Pada sisi yang lainnya terdapat ambisi politik yang kuat dan terus dipelihara dalam tubuh
Pemerintahan dan Negara R I untuk mengembalikan bentuk negara kesatuan di Indonesia. Hal itu
dapat diketahui dengan ditempatkannya usaha untuk meneruskan perjuangan mencapai negara
kesatuan yang meliputi seluruh Kepulauan Indonesia dalam program kabinet Dr. A. Halim,
Perdana Menteri R I.[vii] Dorongan semangat yang lebih besar datang muncul karena dua
kejadian. Pertama, ditariknya kekuatan militer Belanda di negara bagian yang tergabung dalam
BFO. Kedua, berkaitan dengan yang pertama, kondisi tersenut menyebabkan dibebaskannya
ribuan tahanan politik yang sangat pro-republiken dari berbagai penjara. Semua kondisi itu
menyebabkan kekuatan gerakan persatuan menjadi lebih besar. Gerakan yang menentangnya
hanya muncul di tempat-temapt di mana sejumlah kesatuan pasukan kolonial dan Koninklijk
Nederlandsch Indisch Leger (KNIL) belum didemobilisasi.[viii]
Kuatnya gerakan persatuan itu kemudian semakin bertambah kuat karena mayoritas
masyarakat negara bagian juga tidak mendukung pembentukan negara-negara bagian tersebut.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembentukan negara-negara bagian sangat tidak
memiliki dukungan yang kuat, kecuali dari Belanda. Oleh karena itu, ketika Belanda mulai
melepaskan kontrolnya atas negara-negara bagian maka rakyat negara bagian itu bergerak
menuntut untuk kembali kepada R I. Dengan kondisi itu, maka kejatuhan negara-negara bagian
tinggal menunggu waktu saja. Oleh karena itu wajar apabila di berbagai negara bagian muncul
gerakan yang menuntut pembubaran pemerintah daerahnya atau negara bagiannya. Gerakan
semacam itu kemudian menuntut agar daerahnya digabungkan kepada R I.
C. Gerakan Pembubaran Negara Federal di Daerah
Negara bagian yang memelopori pembubaran pemerintahannya adalah Pasundan. Tindakan itu
dilakukan bahkan sebelum Pemerintahan R I S resmi terbentuk dan berkuasa di Indonesia. Jadi di
Pasundan gerakan menentang bentuk federal sudah dilakukan bahkan ketika negara Indonesia
belum resmi berbentuk federal. Kemunculan gerakan anti negara federal dimulai kuandengan
adanya resolusi dari berbagai elemen masyarakat untuk menggabungkan wilayahnya dengan R I.
Keadaan itu sebagian besar disebabkan kurang mampunya Pemerintah Pasundan untuk
memelihara keamanan dan ketertiban di wilayahnya. Situasi itu mendorong adanya resolusi dari
Indramayu yang diantaranya ditujukan kepada Presiden R I dan ketua Komite Nasional Indonesia
Pusat. Isi resolusi itu mendesak Pemerintah R I S supaya sebelum pengkuan kedaulatan selekas
mungkin mengubah status Jawa Barat menjadi daerah R I dengan cara menghapus Negara Bagian
Pasundan. Tindakan itu dilakukan supaya keadaan di Jawa Barat aman tentram. Resolusi itu
muncul berdasarkan kejadian di desa-desa yang keamanannya tidak terjamin. Hal itu
membuktikan bahwa Negara Bagian Pasundan tidak dapat menjamin keamanan dan ketentraman
rakyatnya.[ix]
Kondisi itu kemudian meluas dengan keputusan kepala desa di Tasik Malaya yang
memutuskan hubungan dengan Pemerintah Pasundan dan memilih bergabung dengan R I. Lebih
jauh lagi tindakan itu kemudian didukung oleh sebelas anggota Dewan Perwakilan Kabupaten
Tasikmalaya.[x] Dengan demikian peristiwa ”pembelotan” para kepala desa itu mendapatkan
dukungan politis di tingkat pusat, sehingga mendapatkan legitimasi yang kuat secara politik.
Dukungan rakyat Jawa Barat terhadap gerakan penyatuan semakin besar ketika terjadi peristiwa
Westerling di Bandung pada awal 1950.
Semua kondisi itu telah merusak kedudukan dan reputasi kaum federalis. Apalagi sejak
peristiwa Westerling timbul keyakinan di kalangan masyarakat bahwa beberapa pejabat tertentu
Pemerintah Pasundan telah mengadakan semacam perjanjian dengan Westerling. Tuduhan itu
menguat karena adanya kenyataan bahwa sejumlah anggota Pemerintahan Pasundan ternyata
berkebangsaan Belanda. Mereka itu kebanyakan bertugas di bidang militer. Saat itu, sebagian
perwira polisi dan Militer dalam tubuh Pasundan masih dijabat orang-orang Belanda. Mereka
itulah yang kemudian membelot kepada Westerling.[xi]
Keadaan itu semakin memperkuat posisi kaum republiken di Parlemen Pasundan.
Dimotori oleh Oli Setiadi dan Dr. Hasan Nata Begara Cs, mereka ini kemudian mendesak
parlemen agar Negara pasundan dibubarkan saja.[xii] Dengan kondisi politik yang seperti itu,
akhirnya melalui Keputusan Parlemen Pasundan 8 Maret 1950 dengan suara bulat diputuskan
untuk menggabungkan Negara Pasundan ke dalam Negara R I.[xiii] Keputusan itu kemudian
disahkan dengan lahirnya Surat Keputusan R I S No 113 tanggal 11 Maret 1950 yang menyatakan
bahwa wilayah Pasundan termasuk ke dalam Negara R I. Pemerintah R I S di Jawa Barat
kemudian diganti dengan Pemerintah Provinsi Jawa Barat dengan gubernurnya yang dijabat oleh
M. Sewaka, yang sebelumnya bertugas sebagai Komisaris R I S di Pasundan.[xiv]
Meskipun demikian, negara bagian pertama yang secara resmi bergabung kembali dengan
R I adalah Negara Bagian Sumatera Selatan. Pada tanggal 10 Februari 1950, Dewan Perwakilan
Negara Bagian Sumatera Selatan mengadakan pemungutan suara untuk menyerahkan kekuasaan
negara bagian itu kepada Pemerintah R I S. Peristiwa itu kemudian menjadi efek bola salju yang
semakin lama semakin besar, karena kejadian di Sumatera Selatan segera diikuti oleh hampir
semua negara bagian. Namun demikian ada kecenderungan untuk lebih memilih membubarkan
negara bagian yang bersangkutan dan kemudian digabungkan ke dalam Negara Bagian R I.
Dengan demikian, negara-negara bagian itu tidak membubarkan diri dan menyerahkan
kekuasaannya kepada R I S, tetapi melebur ke dalam R I. Gerakan itu tidak ditentang oleh para
pemimpin R I S. Mereka justru memberikan kesempatan kepada gerakan tersebut untuk
meneruskan tindakannya.
Fenomena itu disebabkan gelombang pasang semangat nasionalis yang besar di kalangan
anggota Senat R I S. Mereka itu percaya bahwa tujuan dan politik masa depan mereka harus
disesuaikan dengan kondisi politik yang sedang berkembang saat itu. Oleh karena itu, mereka
mengikuti kemauan Majelis Permusyawaratan[xv] dan Pemerintah R I S untuk mengeluarkan
suatu undang-undang darurat berdasarkan Pasal 130 Kontitusi R I S yang berisi pembubaran
negara-negara bagian dan digabungkan ke dalam R I. Undang-undang itu dikeluarkan pada
tanggal 7 Maret 1950. Dua hari kemudian, diadakan pemungutan suara bagi persetujuan
penggabungan Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Madura ke dalam R I. Setelah itu, berbagai daerah
dan negara bagian mengajukan permohonan untuk menggabungkan diri ke dalam R I. Sehingga
pada akhir Maret 1950 tinggal empat negara bagian yang masih berdiri, yaitu Kalimantan Barat,
Negara Sumatera Timur (NST), Negara Indonesia Timur (NIT) dan R I yang wilayahnya menjadi
lebih luas.[xvi]
Setelah Kalimantan Barat digabungkan ke dalam R I melalui sidang Majelis
Permusyawaratan pada tanggal 22 April 1950,[xvii] maka tinggal tiga negara bagian dalam R I S,
yaitu; R I, N S T, dan N I T. Masih kokohnya dua negara bagian terakhir itu disebabkan beberapa
faktor. Berhubungan dengan kokohnya N I T sebagai negara bagian dalam R I S, terdapat banyak
hal bersifat kompleks yang telah membentuk aliansi anti republik. Aliansi itu terdiri dari kaum
bangsawan Melayu, bagian terbesar raja-raja Simalungun, beberapa Kepala Suku Karo, dan
kebanyakan tokoh masyarakat Cina.[xviii] Mereka itu semua merasa kedudukannya terancam
dengan berdirinya negara baru. Perasaan itu muncul karena selama tahun-tahun awal
kemerdekaan terdapat pengalaman pahit berkaitan dengan tekanan kaum republik terutama kaum
pemudanya yang sangat anti bangsawan. Oleh karena itu, bagi kaum bangsawan Sumatera Timur
mereka mendambakan kembalinya Pemerintah Kolonial Belanda yang mampu menjamin
kedudukan dan keselematannya. Dalam pandangan kaum bangswan Melayu, R I akan mengancam
kelanjutan perlindungan dan keistimewaan yang mereka nikmati di bawah payung pemerintah
kolonial. Kondisi itu kemudian ditambah munculnya kesadaran oleh para petani Melayu pada
akhir 1945 bahwa ada keinginan di kalangan mayoritas penduduk non-Melayu untuk menghapus
hak-hak istimewa kaum Melayu atas tanahnya.[xix] Sehingga mereka menyambut baik
kalangancampur tangan Belanda di Sumatera Timur. Harapannya adalah dengan kembalinya
Belanda, maka akan pulih kembali hak-hak adat penduduk Melayu maupun penduduk asli
lainnya. Selain itu, tentu saja akan terjaga segala kepentingannya.
Bersamaan dengan itu beberapa anggota pribumi Pemerintah Kolonial yang kolot,
terutama beberapa tokoh Batak karena takut terhadap penguasaan Pemerintah Republik oleh kaum
”ekstrimis” bergeser lebih jauh ke dalam kubu kaum anti-republik.[xx] Perasaan phobia terhadap
kehadiran R I juga merasuki kaum Cina di Sumatera Timur. Mereka itu telah menderita di bawah
tekanan kaum ”ekstrimis” republik. Bentuk fisik yang berbeda dengan penduduk asli, ditambah
dengan kedudukan ekonomi yang lebih baik sehingga sering menimbulkan kecemburuan sosial.
Semua itu menjadikan orang-orang Cina sebagai sasaran kekejaman para pemuda ”pejuang”.
Selama bulan-bulan awal revolusi sekelompok pemuda secara teratur merampoki toko-toko dan
gudang-gudang milik orang Cina.[xxi] Sebagai jawabannya kemudian masyarakat Cina di Medan
mendirikan kesatuan Poh An Tui, yaitu pasukan keamanan Cina yang dipersenjatai Inggris.
Mereka ini meronda daerah pecinan di Medan, Binjai, dan Pemantang Siantar. Kesatuan tersebut
bersama dengan pasukan Belanda turut serta mempersiapkan berdirinya N S T yang disponsori
Belanda dan bangsawan setempat.[xxii] Secara riil, kelompok masyarakat yang tergabung dalam
aliansi anti R I sesungguhnya hanya sepertiga saja dari jumlah seluruh pendukungnya.[xxiii] Akan
tetapi dengan adanya perpecahan antar elit dan masyarakat membuat daerah itu mampu
dimanfaatkan Belanda sebagai salah satu negara bagian dengan tokoh-tokoh dan pasukan militer
yang kuat dan gigih menentang keberadaan R I di wilayahnya.
Kombinasi dari semua faktor itu akhirnya mendukung lahirnya aliansi anti republik di
Sumatera Timur. Keadaan itu membuat N S T masih berdiri hingga saat terakhir eksistensi R I S.
Walaupun demikian, tidak berarti rakyat di Sumatera Timur tidak menghendaki pembubaran
negara bagiannya dan memilih bergabung dengan R I. Selama revolusi fisik, di Sumatera Timur
bahkan muncul berbagai macam kelompok bersenjata yang gigih berjuang melawan Belanda.
Meskipun kontrol pemerintah pusat terhadap mereka sangat lemah, bahkan dapat dikatakan tidak
ada sama sekali.
N I T mampu bertahan hingga akhir karena beberapa faktor. Pertama, Belanda sejak awal
sudah memilih Indonesia Timur untuk dijadikan daerah utama yang akan bergabung dengan
sebuah negara federal Indonesia Serikat. Di samping itu, ada satu hal yang penting yaitu; secara
militer Belanda aktif di kawasan itu. Belanda sejak lama menjadikan daerah Ambon dan
Minahasa sebagai keanggotaan K N I L.[xxiv] Dengan kondisi itu, tidak heran bila Indonesia
Timur menjadi daerah pertama yang dijadikan Belanda sebagai daerah bagian yang akan
bergabung ke dalam apa yang disebut Negara Indonesia Serikat. Indonesia timur dapat seperti itu
karena Belanda mempunyai persiapan matang untuk kembali berkuasa di wilayah tersebut.
Kondisi itu disebabkan adanya dukungan kuat dari militer Australia yang ditugasi Sekutu
untuk mengamankan kawasan tersebut terhadap Belanda. Oleh karena itu, para pejabat N I C A
(Netherlands Indies Civil Administration) dengan leluasa dapat masuk ke wilayah Sulawesi
dengan membonceng pasukan Sekutu, termasuk pasukan pelopor yang mendarat di Makassar 21
September 1945. Mereka itulah yang kemudian membebaskan semua tahanan Sekutu di Sulawesi
Selatan dan menempatkan sekitar 3000 orang Belanda bekas tahan Jepang kembali ke
Makassar.[xxv] Keadaan itu memang berbeda dengan tindakan pasukan Inggris di Jawa
yang tidak leluasa karena khawatir membahayakan keselamatan tahanan dan tawanan perang yang
banyak jumlahnya. Pasukan Australia di Sulawesi relatif bebas untuk berurusan dengan pasukan
Jepang ataupun dengan bekas pejabat lokal.
Tujuan utama mereka adalah mendirikan pemerintahan yang dapat menjamin ketertiban
umum dan mendapatkan beras dari daerah pedalaman bagi kebutuhan pangan penduduk
Makassar. Untuk itu mereka segera mengangkat para pejabat Belanda sebelum P D II. Beberapa
diantaranya adalah interniran yang baru saja dibebaskan dari kamp tahanan Jepang, sebagai
pejabat sementara pemerintahan sipil. Kondisi itu segera dipergunakan Belanda untuk membanjiri
daerah-daerah yang diduduki Pasukan Australia dengan pasukan Belanda dan bekas pegawai
pamong praja (Corps Binneland Bestuur), seperti residen, asisten residen, kontrolir atau jabatan
lainnya.[xxvi] Dengan demikian sesungguhnya tentara Australia telah bekerja untuk kepentingan
Belanda.
Dukungan terang-terangan pasukan sekutu (Australia) terhadap Belanda dapat diketahui
dari maklumat Panglima Tentara Australia di Makassar Brigadir Jendral Chilton pada tanggal 29
Oktober 1945 yang isinya sangat menekan gerakan pemuda pendukung proklamasi kemerdekaan.
Salah satu isinya adalah melarang orang memakai seragam militer atau uniform lain, selain
anggota pasukan Sekutu atau polisi. Selain itu, dalam maklumat itu juga melarang penduduk
untuk mengikuti latihan militer, memakai atau mempunyai segala macam senajat api dan senjata
tajam, mengadakan pawai atau pertunjukan, dan sebagainya. Lebih lanjut Jendral Chilton bahkan
telah melarang Gubernur Sulawesi saat itu Dr. G.S.S.J. Ratulangi untuk menjalankan tugasnya,
karena pemerintaha sipil telah dijalankan oleh NICA dengan tanggung jawab dan perlindungan
tentara Australia yang bertindak sebagai kesatuan Sekutu. Apabila perintah itu dilanggar oleh Dr.
G.S.S.J. Ratulangi maka terhadapnya akan diambil tindakan penahanan.[xxvii]
Posisi Belanda semakin kuat dengan diijinkannya Pemerintah Belanda menempatkan
seorang berpangkat Chief Commanding Officer NICA (Chief Co-NICA) di Morotai mendampingi
Panglima Tertinggi Tentara Australia. Chief Co-NICA ini mempunyai wewenang seluruh wilayah
Indonesia Timur dan Kalimantan (kecuali Bali). Selain itu dia juga membawahi semua petugas
NICA yang ada di Indonesia Timur. Dengan kesempatan yang diberikan oleh Pasukan Australia,
Belanda dalam waktu singkat berhasil mengembalikan fungsi aparat pemerintahannya di wilayah
Indonesia bagian timur. Semuanya itu jelas mempunyai pengaruh atas perkembangan politik di
wilayah yang bersangkutan. Oleh karena dengan persiapan matang itulah, maka secara politis
wilayah Sulawesi, Nusa Tenggara dan Maluku yang kemudian disebut sebagai Indonesia Timur
menjadi salah satu daerah yang secara politis cukup kuat untuk menjadi semacam daerah yang
berdiri sendiri terpisah dengan Pemerintah R I di Yogyakarta. Hal itulah yang menyebabkan N I T
dapat bertahan lama menjadi daerah bagian dalam wilayah federal R I S.
Semua kondisi itu kemudian ditambah dengan adanya dukungan yang datang dari para
aristokrat, terutama mereka yang telah diangkat sebagai pengganti para kepala dan penguasa yang
pro-RI.[xxviii] Sehingga kedudukannya sangat tergantung kepada keberadaan dan dukungan
Belanda. Mereka itu biasanya adalah para bekas Binneland Bestuur (pamong praja) yang dulunya
bekerja untuk Belanda pada masa kolonial. Oleh karena itu wajar apabila kemudian bekerja
kembali untuk tuannya itu.
Bersama-sama dengan polisi lokal yang dipekerjakan di bawah kekuasaan dan tanggung
jawab Pemerintah Indonesia Timur melalui SK Letnan Gubernur Jendral 14 Maret 1946 No 3 dan
SK Komisariat Pemerintahan Umum untuk Borneo dan Timur Besar tanggal 14 Maret 1946 No
ARC 1/9/43 dan No ARC 1/9/7. Kondisi itu berarti semua residen, asisten residen, kontrolir, dan
pamong praja Indonesia seperti bestuur assistant, menteri polisi dan pegawai administrasi lainnya,
demikian juga dengan pegawai kepolisian dari Hoofkomisaris sampi pangkat terendah yang
dulunya dipekerjakan di wilayah Indonesia Timur mulai saat itu ada di bawah kekuasaan dan
tanggung jawab Kementerian Dalam Negeri N I T.[xxix]
Dengan semua latar belakang yang seperti itu wajar apabila N I T mampu bertahan hingga
akhir dalam tubuh R I S. Meskipun demikian dalam wilayah N I T dapat pula diketemukan
gerakan perlawanan terhadap Belanda yang sangat keras, bahkan tidak kalah kerasnya
dibandingkan yang ada di Jawa. Akan tetapi, karena kuatnya militer Belanda di sana, maka
gerakan kaum republiken dapat diatasi oleh Belanda dan para kolaboratirnya. Pada akhirnya
ketika militer Belanda ditarik dari wilayah itu, maka kaum federalis mulai menyadari bahwa
mereka tidak akan mampu bertahan dari arus republiken. Hal itu semakin jelas ketika ribuan
tahanan politik yang semuanya kaum republiken dibebaskan, maka tuntutan terhadap pembibaran
N I T dan penggabungan ke dalam R I semakin nyata dan kuat.
Sehubungan dengan semakin kuatnya gerakan pro-republik, maka tanggapan yang
diberikan oleh elit N I T ada dua cara. Pertama, mereka berusaha mencegah gerakan tersebut.
Akan tetapi ketika gerakan itu semakin kuat, maka mereka berusaha memisahkan diri dengan
membentuk negara terpisah dari Indonesia. Gerakan ini dipimpin oleh Dr. Soumokil cs yang
berusaha mendirikan Republik Maluku Selatan (RMS). Sedangkan yang lainnya berusha untuk
meleburkan diri ke dalam tuntutan masyarakat. Sebagaimana yang dilakukan oleh Presiden N I T
Sukawati, Menteri Dalam Negeri Daeng Passewang dan lainnya yang ada dalam kabinet terakhir
N I T. Sesungguhnya kabinet terakhir N I T berisi tokoh-tokoh yang siap meleburkan N I T ke
dalam R I.[xxx] Oleh karena itu proses perubahan R I S menjadi negara kesatuan dapat berjalan
tanpa hambatan dalam tataran politis.
D. Peleburan Federal Menjadi Negara Kesatuan
Dengan semua perkembangan politik di Indonesia itu memaksa para elit yang ada di N I T dan N
S T untuk berunding dengan pemerintah R I S. Oleh karena itu, dari tanggal 3 sampai 5 Mei 1950
diadakan perundingan antara PM R I S M. Hatta, Presiden N I T Sukawati, dan PM NST Dr.
Mansyur. Hasilnya adalah disetujuinya pembentukan suatu negara kesatuan. Akan tetapi, pada
tanggal 13 Mei 1950 Dewan Sumatera Timur menentang keputusan itu. Meskipun demikian,
Dewan Sumatera Timur masih bersedia menerima pembubaran R I S dengan syarat N S T
dileburkan ke dalam R I S bukan ke dalam R I. Walaupun ada dukungan kuat dari sebagian besar
penduduk Sumatera Timur, tetapi PM Hatta mendukung Dewan N S T. Keputusan Hatta itu
didasari situasi di Sumatera Timur yang masih rapuh untuk bergabung dengan R I. Hatta berpikir
bahwa apabila diambil jalan penggabungan N S T langsung ke dalam R I, mungkin dapat
mendorong para bekas K N I L yang saat itu masih menjadi anggota batalyon keamanan N S T
untuk memberontak sebagaimana tindakan yang diambil teman-temannya di Ambon.
Sehubungan dengan hasil konferensi antara Hatta, Mansyur dan Sukawati, maka sebagai
tindak lanjut diadakan perundingan antara PM-R I S Hatta yang mewakili N I T beserta dengan N
S T di satu pihak dan PM-RI A. Halim pada pihak lainnya. Hasilnya adalah tercapainya
persetujuan pada tanggal 19 Mei 1950 diantara kedua belah pihak untuk membentuk N K R I.
Persoalannya adalah bagaimana cara untuk membentuk sebuah negara kesatuan, sebagaimana
yang dikenhendaki seluruh rakyat Indonesia.
Pilihan yang diambil para pemimpin Indonesia adalah dengan cara mengubah Konstitusi R
I S. Pilihan ini diambil karena apabila semua negara bagian melebur ke dalam R I S (R I akan
menjadi satu-satunya negara bagian dari R I S, sehingga R I S akhirnya terlikuidasi) akan
menimbulkan berbagai macam kesulitan. Pertama, akan timbul masalah dengan para bekas
anggota K N I L. Di samping itu ada alasan penting lainnya menyangkut hubungan dengan luar
negeri. Jika seluruh negara bagian bergabung dengan R I, maka akan timbul kesulitan.
Persoalannya adalah R I yang masih eksis adalah R I sebagai negara bagian R I S(sebagai akibat
persetujuan KMB). Padahal yang menyelenggarakan hubungan luar negeri adalah R I S yang telah
dilikuidasi. Dengan perkataan lain proses kembali dari R I S ke N K R I melalui cra ini berarti
peleburan negara yang telah mendapat pengakuan internasional dengan memunculkan sebuah
negara baru. Oleh karena itu agar pengakuan dunia internasional tetap terpelihara secarayuridis,
maka pembubaran R I S harus dihindari.
Satu pilihan cerdik akhirnya diambil, yaitu dengan jalan mengubah konstitusi R I S. Jadi
secara yuridis N K R I adalah perubahan dari R I S sebagai negara federal menjadi negara
berbentuk kesatuan. Melalui cara itu terhindar permasalahan berkaitan dengan dunia internasional.
Apabila R I S dibubarkan dan digantikan oleh R I sebagai negara bagian dalam tubuh R I S, maka
negara baru yang muncul itu tidak dapat menjalankan hubungan internasional secara yuridis
formal. Hal itu disebabkan R I sebagai negara bagian tidak dapat menyelenggarakan hubungan
internasional. Akan lain persoalannya apabila R I S berganti menjadi negara kesatuan. Secara
yuridis tidak akan ada permasalahan dengan dunia internasional, karena yang berubah hanya
konstitusinya saja, bukan negaranya.
E. Simpulan
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa bahwa perkembangan masalah ketatanegaraan
Indonesia masa revolusi sangat erat kaitannya dengan kehadiran kekuatan asing. Indonesia
mengalami perubahan bentuk negara dari kesatuan menjadi negara federal bukan saja disebabkan
oleh faktor dalam negeri, tetapi ada hubungannya dengan kehadiran Belanda dan Australia.
Kuatnya keinginan Belanda sebagai negara koloni untuk mempertahankan pengaruh dan
kekuasaannya di Indonesia membuat negara ini sempat mengalami perubahan bentuk negara.
Selain itu, masih ada satu faktor lagi yaitu adanya sebagian kecil masyarakat Indonesia yang
merasa lebih nyaman dan tenang di bawah payung kolonial Belanda membuat ide negara federal
dapat hidup dan bertahan selama masa sekitar K M B. Kehadiran pasukan Belanda dengan
kekuatan yang lebih besar dibandingkan dengan militer Indonsia, yang baru terdiri dari pemuda
pejuang menjadikan pendukung ide negara federal di beberapa tempat berada di atas angin. Oleh
karena itulah, negara federal dalam bentuk R I S sempat terwujud melalui KMB, meskipun hanya
seumur jagung.
Terjadinya perubahan dari negara federal menjadi negara kesatuan tidak dapat disangkal
disebabkan dukungan politik dari masyarakat Indonesia terhadap ide negara federal sesungguhnya
sangat lemah. Ide negara federal muncul dari ambisi politik orang-orang Belanda yang agaknya
takut negerinya tidak lagi mempunyai peran di Asia. Oleh karena itulah ketika masalah
kemerdekaan Indonesia sudah tidak dapat ditawar lagi, mereka memperkenalkan ide mengenai
pembentukan negara federal. Akan tetapi, ide ide hanya didukung oleh sebagain kecil masyarakat
Indonesia, yaitu mereka yang pernah merasakan nikmatnya hidup dalam lindungan kekuasaan
kolonial Belanda. Hal itu terbutki ketika sebagian besar pasukan Belanda mulai ditarik dari
Indonesia. Bersamaan dengan itu dibebaskannya tahanan politik yang sebagaian besar merupakan
elit politik pro-republik membuat desakan masyarakat untuk mengganti negara federal kepada
bentuk negara kesatuan semakin kuat. Dengan demikian jatuhnya negara federal tinggal
menunggu waktu setelah situasi politik di Indonesia benar-benar berubah.
Catatan
------------------------------------
[i] George Mc Turnan Kahin, Nasionalisme dan Revolusi di Indoensia (Jakarta: Pustaka
Sinar Harapan kerja sama dengan Sebelas Maret University Press, 1995), hlm. 571.
[ii]Bukti keterlibatan oknum tentara Belanda ada pada gerakan Westeling di Bandung dan Jakarta. Peristiwa
itu membuktikan bahwa di kalangan militer Belanda masih ada ketidakrelaan dengan berdirinya sebuah negara
Indonesia yang merdeka dan berdaulat penuh. Sekaligus bukti ketidaksukaan tentara Belanda atas perkembangan
politik di Indonesia yang sedang mengarah kepada pembentukan kembali sebuah negara kesatuan.
[iii]Meutia Farida Swasono, Bung Hatta, Pribadinya dalam Kenangan (Jakarta: Sinar Harapan, 1980), hlm.
184-187.
[iv]G. Moedjanto, Indonesia Abad ke-20 II (Yogyakarta: Kanisius 1988), hlm. 70
[v]Kahin, 1995, op. cit., hlm. 569.
[vi]Herbert Faith, The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia (New York: Ithaca, 1962), hlm. 47.
[vii]Baca; Kedaulatan Rakyat, 21 Januari 1950.
[viii]Kahin, 1995, op. cit., hlm. 572.
[ix] Pada umumnya rakyat daerah Indramayu menaruh kepercayaan kepada TNI untuk melindungi dan
mengembalikan keamanan dan ketertiban dalam masyarakat. Lebih jelas baca; Kedaulatan Rakyat, 17 Desember
1950
[x]Kedaulatan Rakyat, 20 Desember 1949.
[xi]Kahin, 1995, op. cit., hlm. 578; Beberapa perwira polisi Belanda yang disersi dan terlibat dalam aksi
gerakan Westerling adalah Bolk van Beelden dan Van der Meulen. Selain itu terlibat pula dua seksi dari resimen
Stootoepen. Lebih jelas baca; Indonesia Timur, 24 Januari 1950. Lihat juga A.H. Nasution, Memenuhi Panggilan
Tugas II (Jakarta: Gunung Agung, 1983), hlm. 223.
[xii] Sewaka, Tjorat-Tjoret dari Jaman ke Jaman (Bandung: Visser, 1955), hlm. 171.
[xiii]Tanu Suherly, Sekitar Negara Pasundan, Naskah Seminar Sejarah Nasional II
(Yogyakarta: 26-29 Agustus 1970).
[xiv]Helius Sjamsudin et al., Menuju Negara Kesatuan: Negara Pasundan (Jakarta: Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan, 1992), hlm. 82.
[xv]Majelis Permusyawaratan adalah sidang gabungan parlemen R I S dan Senat R I S.
[xvi]Kahin, 1995, op. cit., hlm. 579.
[xvii]Ibid.
[xviii]Michael van Langenberg, Sumatera Timur: Mewadahi Bangsa Indonesia dalam Sebuah Karesidenan
di Sumatera Timur”, dalam Audery Kahin, Pergolakan Daerah Pada Awal Kemerdekaan (Jakarta: Pustaka Utama
Grafiti, 1990), hlm. 140.
[xix]Ibid., hlm. 139.
[xx]Michael van Langenberg, “Class and Etnic Confliv in Indonesia’s Decolonization Process: A Study
Case of East Sumatra” in Indonesia XXXIII, April 1982, hlm. 11.
[xxi]Michael van Langenberg, 1990, op. cit., hlm. 139. Lihat juga; Mohammad Said, Empat Belas Boelan
Pendoedoekan Inggris di Indonesia (Medan: Berita Antara, 1946), hlm. 121-122.
[xxii]Ibid.
[xxiii]Ibid., hlm. 140.
[xxiv]Barbara S. Harvey, “Boneka dan Patriot”, dalam Audrey R. Kahin, 1990, op. cit., hlm. 223.
[xxv]Ibid., hlm. 217; Lihat juga W.B. Russel, The Second Fourteenth Batalion: A History of an Australian
Infantry Batalion in the Second World War (Sydney: Angus and Robertson, 1948), hlm. 312.
[xxvi]Ida Anak Agung Gde Agung, Dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia Serikat
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1985), hlm. 40.
[xxvii]Ibid., hlm. 30.
[xxviii]Barbara S. Harvey, 1990, op. cit., hlm. 227.
[xxix] Ida Anak Agung Gde Agung, 1985, op. cit., hlm. 187.
[xxx]R. Nalenan, Arnold Mononutu: Potret Seorang Patriot (Jakarta: Gunung Agung, 1981), hlm. 203
my blog © 2008 Template by:
SkinCorner